Minggu, 30 Mei 2010

Nikmatnya Bumbu Pecel Diburu, Pembeli Harus Antri


Nikmatnya Bumbu Pecel Diburu, Pembeli Harus Antri

Hari Minggu (30/5) pagi Pasar Raya Mekongga aktivitas pedagang belum bergerak cepat,satu dua pedagang masih membenahi jualannya sembari menikmati sarapan pagi di atas meja jualannya. Jika kita memasuki pasar yang dibangun oleh mantan Bupati Kolaka Drs.Adel Berty ini, lewat belakang tepatnya pasar basah tempat pedagang ikan dan sayuran mengadu peruntungann disitu juga kita bisa melihat aneka jenis makanan yang terasa pas untuk menemani minum teh di pagi hari tentunya. Tak hanya itu kita juga disuguhi aroma tak sedap yang menyengat begitu kuat menempel di hidung, jika Anda mencium bau kotoran manusia , seperti itu yang Anda akan rasakan sendiri.

Dan aroma tak sedap itu, barangkali sudah jamak dijumpai di pasar tradisional di seluruh Indonesia, tak terkeculai di Kolaka. Ini akibat ulah manusia yang dengan seenaknya membuang sampah di saluran air, termasuk kotoran manusia, saluran air menjadi pilihan terakhir bagi pedagang yang bermukim di lingkungan pasar. Praktis saja mereka lakukan itu, lantaran mereka tidak punya pilihan lain seperti ketersediaan MCK dan tempat sampah untuk membuang sampah atau memang kesadaran terhadap lingkungan yang tidak ada.

Begitulah pemandangan yang kita jumpai di Pasar Raya Mekongga, namun demikian tak mengurangi semangat pedagang yang berpacu dengan waktu,mereka seolah-olah tak peduli dengan lingkungan yang tak bersahabat dari sisi kesehatan, akibat bau busuk itu. Semuanya menjadi biasa saja,tak ada yang perlu dirisaukan, yang penting bagi pedagang yang berjualan di sekitar tempat pengolahan sampah organik milik Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Kabupaten Kolaka, keuntungan bisa diraupnya dari kegiatan jual-beli setiap harinya sebagai pedagang dengan omzet yang tak begitu besar nilainya namun cukup untuk mengepulkan asap dapur dan membiayai kebutuhan hidup mereka. Ketekunan dan kesetiaan tergambar dari raut wajah-wajah penjual di Pasar Raya Mekongga yang setiap pagi bisa dijumpai di pasar itu, seolah-olah mereka juga tak peduli dengan hirup-pikuk situasi politik di daerah ini, apalagi mengikuti perkembangan kasus century di DPR RI di Jakarta yang tidak jelas ujungnya.

Ada satu penjual jajanan pagi yang setiap paginya ramai dikunjungi pembeli,bahkan harus antri untuk mendapatkan jajanan yang pas di lidah sekaligus untuk dinikmati sebagai sarapan pagi.Saya salah satu dari pelanggang tetap dari perempuan penjual pecel yang memiliki cita rasa yang “maknyusss...” kata Bondan Winarno dalam liputan wisata kulinernya di salah satu stasiun tv swasta.

Saya tidak tahu secara persis kapan perempuan yang begitu setia menjalani pekerjaannya sebagai penjual pecel.Karena, rasa-rasanya saya sudah setahun menikmati sebungkus pecel dengan rasanya yang khas. Meski ada beberapa penjual pecel, tetapi racikan bumbu dari perempuan yang tak aku kenali namanya tak pernah sepi dari pembeli sejak pagi buta. Tetapi dari cara bertuturnya sangat kental kalau dia itu berasal dari Jawa Tengah. Aku sebenarnya ingin menulisnya dalam catatan ringan, sekaligus bisa mengenalnya lebih dekat sosok perempuan penjual pecel yang selalu laris manis itu.Saya tak punya kesempatan untuk melakukan wawancara dengan perempual penjual pecel itu, bayangkan saja sejak pagi buta, dia begitu tekun dan harus melayani pelanggangnya dengaan cepat.

Sementara itu, dia tidak dibantu oleh orang lain untuk menyediakan pecel, semuanya dilakukan sendiri meracik sayur,sejumlah lontong yang telah diris tipis dengan lincah disendok ke dalam bungkusan kertas yang biasa digunakan untuk membungkus makanan, dua – tiga sendok siraman bumbu pecel yang kental beraoma sedap tumpahkan merata di atas irisan lontong dan sayuran toge dan kangkung, pakai lombok sedikit, kemudian ditambahkan sedikit kerupuk unyil, lengkap lalu dibungkus.

Tangannya lalu mengambil klip kertas dan memasukkan bungkusan pecel ke dalam kantong plastik aneka warna. Rata-rata yang pesan lima hingga 10 bungkus setiap pembeli dengan harga sebungkusnya relatif terjangkau, kita bisa membeli dengan harga 3000 ribu tidak pakai telur 5000 ribu yang ada telurnya. Semuanya berlangsung cepat, ibarat pelayanan prima yang digunakan dan saya harus rela menunggu giliran untuk bisa menikmati pecel itu.Luar biasa.

Sekali ini saya terpaksa harus menulisnya saja meski tanpa identitas dari perempuan penjual pecel itu, saya berharap ada yang membaca tulisan ringan ini, kemudian si pembaca menyampaikan bahwa dirinya telah dimuat di media online yang bisa dibaca di seluruh dunia. Mungkin dari situlah saya bisa mendapatkan jeda waktu untuk berbincang-bincang tentang kehidupan pribadi penjual pecel serta resep apa yang digunakan sehingga pelanggangnya tak ada yang ke lain hati. Masih setia menunggu sebungkus pecel meski harus antri berjam-jam lamanya. (ridwandemmatadju)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar