Wawancara

Wawancara Fahmi Idris
Tawaran China Hanya Basa-basi
Suhendra - detikFinance


Jakarta - Kesepakatan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dengan Menteri Perdagangan China Chen Deming terkait renegosiasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) menuai protes banyak kalangan, termasuk dari Menteri Perindustrian MS Hidayat.

Sebanyak 7 kesepakatan diputuskan di Yogjakarta dalam forum Joint Commission on ecomic trade and technical cooperation meeting (JCM) RI-China ke-10 pada tanggal 3 April 2010. Namun kesepakatan tersebut dinilai sebagai bentuk kegagalan Indonesia dalam memperjuangkan aspirasi dunia usaha di Tanah Air menghadapi ACFTA.

Bagaimana perundingan renegosiasi AC-FTA ini? Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris menilai segala macam tawaran kompensasi dan bantuan yang akan diberikan oleh China hanyalah basa-basi belaka. Sebagai negara yang kuat di sektor industri, China memiliki kepentingan terhadap Indonesia dan tidak mudah begitu saja memberikan peluang bagi Indonesia.

"Ah non sense lah, ... business is business... Itu cuma basa-basi saja cuma omongan saja dalam prakteknya tidak. Sebab mereka juga harus hidup dan harus makmur," jelas Fahmi.

Berikut ini wawancara detikFinance dengan mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris saat ditemui di kantornya Menara Kodel, Kuningan Jakarta, Kamis (8/5/2010).

Soal renegosiasi AC-FTA yang banyak pihak menilainya gagal dilakukan, bagaimana Anda melihatnya?

Gagal atau berhasil, kalau pakai ukuran kementerian perindustrian, dimana yang sudah mengusulkan 228 pos tarif untuk ditinjau, kalau kita pakai ukuran itu bahwa perundingan kemarin gagal.

Jadi jelas ukuran gagal berhasil, kalau dari sisi kementerian perindustrian perundingan itu gagal karena perindustrian dari yang saya ikuti telah menghitung dengan cermat sebanyak 228 pos tarif tersebut dengan berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah produk terkait belum mampu menghadapi daya saing produk yang sama dari China.

Sektor atau produk tadi belum berkembang secara menggembirakan, terlebih lagi belakangan sektor-sektor tadi terkena oleh kondisi dari harga gas yang naik, TDL akan naik. Jadi memang tambah rumit sektor-sektor tadi dalam menghadapi ACFTA. Sehingga memang tuntutan dunia usaha dan perindustrian sebetulnya layak sekali untuk diperjuangkan.

Saya juga agak heran ketika Ibu menteri perdagangan tanpa koordinasi yang intens pertama dengan menteri perindustrian, kedua juga dengan DPR, dengan dunia usaha khususnya dengan sektor yang mewakil 228 pos tarif, tiba-tiba diambil keputusan seperti itu.

Jadi memang hasil pertemuan perundingan menteri perdagangan beberapa waktu lalu jauh dari yang diharapkan banyak pihak?

Ya jelas jauh dari yang diharapkan. Artinya Ibu menteri perdagangan punya pemikiran sendiri, sehingga apa yang dirumuskan dalam perundingan di Yogja itu sama sekali tidak menampung pendapat dan pemikiran kalangan dunia usaha dan yang berkembang di kalangan pemerintah dalam hal ini di kementerian perindustrian.

Terlepas dari itu, bagaimanapun kesepakatan sudah dilakukan. Kira-kira menurut Anda setidaknya apa yang positif dari 7 kesepakatan sebelumnya?

Yang positif adalah apa yang disampaikan oleh menko perekonomian, yaitu akan dibentuk working group. Sedangkan kalau kompensasi yang lainnya bisa rawan, artinya kalau dikembangkan disini daya saing bisa lebih parah. Barang kali pengusaha-pengusaha yang biasa bergerak dibidang industri bisa menjadi trader, itu yang berbahaya.

Jadi kekhawatiran orang dengan adanya ACFTA ini tanpa adanya imbangan dari pemerintah untuk menjaga sektor-sektor tadi bisa terjadi memang deindustrialisasi, dimana sektor-sektor tadi bisa beralih jadi pedagang. Saat ini pun sudah ada, kita lihat dari beberapa pelaku industri garmen yang sudah pindah dari pelaku industri, ini yang berbahaya.

Soal koordinasi yang buruk antara dua menteri yaitu perindustrian dan perdagangan, bagaimana anda melihatnya?

Memang yang ideal kedua departemen itu dijadikan satu, menjadi kementerian perindustrian-perdagangan itu jawabannya. Kalau tanpa itu yah sudah lah, sudah lah. Apalagi kalau orientasi dan visi misinya berbeda.

Maksud anda, hal ini lebih karena faktor pribadi kedua menteri?

Saya tidak katakan pribadi, tapi lebih pada orientasi atau visi misi, orientasi pikiran. Kalau orientasi yang satu lebih ingin mendorong potensi dalam negeri (perindustrian), yang satu berorientasi pasar bebas (perdagangan).

Dimanapun pasar bebas itu selalu dikoreksi oleh negara bersangkutan, selalu. Misalnya Amerika dan Eropa untuk produk-produk pertanian memberikan subsidi luar biasa besarnya. Makanya dalam setiap pertemuan-pertemuan WTO, itu selalu yang mendemo sebagian besar adalah para pelaku di sektor pertanian, karena mereka takut subsidinya dipotong.

Mereka tidak pernah mengurangi subsidinya tuh, artinya mereka berani. Subsidi itukan barang haram dalam WTO, kenapa untuk kepentingan bangsa, kita tidak melakukan berbagai-bagai protek, dengan berbagai upaya yang lebih pandai atau pintar. Seperti Amerikan yang menggunakan subsidi, buktinya mereka bisa berdebat dengan siapa saja.

Kenapa pertemuan Doha tidak pernah berhasil, karena masalah itu, karena masing-masing punya kepentingan yang berbeda-beda dan berbeda dengan prinsip WTO itu sendiri. Kita ini soft nation, bangsa yang lunak, bangsa yang mudah diatur-atur, negara lain tidak dia melawan.

Kita seyogyanya membela kepentingan dalam negeri, jangan cuma karena WTO lalu kita mengabaikan kepentingan dalam negeri. Berbagai negara sudah menunjukan seperti Amerika yang subsidinya jalan terus, besar subsidi mereka di sektor agraria.

Anda melihat prospek negosiasi yang dilakukan Indonesia, termasuk dalam hal ACFTA kedepannya bagaimana?

Selama pola negosiasi yang dilakukan oleh menteri perdagangan, Indonesia akan terpuruk lah. Jadi perlu ada koreksi, working group itu bagus, tapi tidak cukup lah.

Jadi solusinya apa yang anda bisa berikan?

Pertama kita harus melakukan negosiasi terus menerus, terus menerus jangan baru sekali lalu dianggap cukup,Amerika saja terus-terusan. Jadi harus dilakukan negosiasi terus menerus untuk kepentingan dalam negeri.

Kalau menurut saya, presiden harus sudah menilai bagi yang kurang mementingkan dalam negeri dan kepentingan bangsa ya barang kali diberikan tempat lain lah, tidak mengurus soal itu. Ya diberikan tempat apalah, wakil presiden atau apalah gitu (tertawa).

Berilah tempat pada orang-orang yang betul-betul dedikasinya bagi kepentingan bangsa. Karena kalau dibiarkan berbahaya, kesulitan di dalam negeri, kalau sampai terjadi PHK, lalu efeknya sektor industri akan habis akan terlinda. Amerika saja ketakutan dengan China, apalagi Indonesia, negara-negara besar di dunia ini terpukul.

Bukankah dalam kesepakatan antara menteri perdagangan, China berjanji akan bantu merangkul Indonesia?

Ah non sense lah, nggak..nggak, business is business. Kalau dia kuat dia harus berada diposisi yang mengontrol, nggak ada lah itu. Itu cuma basa-basi saja cuma omongan saja dalam prakteknya tidak. Sebab mereka juga harus hidup dan harus makmur.

Jadi menurut anda yang bisa dilakukan Indonesia seharusnya apa?

Sesuai yang saya katakan tadi yaitu terus berunding, memproteksi, memperjuangkan sektor-sektor yang kira-kira akan segera terlindas. Lakukan dukungan secara total kepada sektor-sektor yang lemah.

Ketika saya menjadi menteri perindustrian, pemerintah melakukan restrukturisasi mesin sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT), membantu secara finansial (subsidi) karena perbankan tidak bisa. Jadi memperkuat sektor-sektor andalan kita tetapi lemah terhadap China. Kita mau bertanding dengan China, dia punya kapas, dia punya bahan baku kita tidak punya. China bisa membuat mesin-mesin TPT, kita belum bisa.

Jadi segala aspek dari hulu sampai hilir kita kebanting lah dengan mereka. Sektor TPT menjadi sektor andalan, ekspor tertinggi adalah TPT.

Meski kebijakan restrukturisasi mesin juga dipertanyakan WTO, kita jalan terus. Sebab kalau perusahaan TPT gulung tikar dan terjadi PHK, apa mereka (WTO) mau memperhatikan kita, nggak ada.

Jadi yang bisa memperhatikan ya kita, jadi nggak usah takut lah. Jadi dalam perundingan begini nggak apa-apa menyimpang-menyimpang sedikit, Amerika dan Eropa banyak menyimpang tuh. Siapa sih yang tidak menyimbang, kalau soal caranya gampang dah, nggak ada yang susah yang penting keberanian kita.

Soal posisi menteri perindustrian saat ini, apa yang dia lakukan sudah sesuai perannya?

Bagus saja, dia selama ini membawa aspirasi kalangan dunia usaha.

Tapi ada kesan Menperin (MS Hidayat) sering bertabrakan dengan suara kabinet?

Ya berjuanglah, nggak juga, dia harus berjuang. Nggak ada masalah. Beda-beda sedikit nggak apa-apa lah

Soal pemikiran Menperin MS Hidayat yang akan merangkul China dalam mendorong relokasi industri China ke Tanah Air. Apakah itu mungkin bisa dilakukan?

Barang kali bagi industri yang sudah jenuh disana bisa seperti sepatu, tapi bagaimanapun China masih membutuhkan sektor-sektor yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi mereka.

Justru yang terjadi banyak pelaku industri kita membuat barangnya disana (China) jadi disini hanya tempat untuk memasarkannya. Dari segi efisiensi mereka juga mempelajari kita, bagaimana melakukan relokasi sementara di China lebih efisien, itu juga problem kita.

Banyak produk-produk yang dipasarkan disini, yang dibuat oleh perusahaan Indonesia yang pabriknya di China. Jadi kalau kita kaitkan dengan ide relokasi industri China ke sini jadi tidak klop. Mereka kalau mau melakukan relokasi tentu akan melihat kelebihannya kita, apakah lebih efisien, efektif dan bisa bersaing produk yang dihasilkan disini, kita terkenal masih negara yang masih mahal (ongkos produksinya).

Mereka (China) tahu kita, misalnya soal efisiensi pelabuhan dan efisiensi kawasan industri kita. Misalnya kawasan industri Jababeka jaraknya 40 Km ke Tanjung Priok, akses jalannya cuma dua yaitu lewat Cakung-Cilincing (Cacing) dan Cawang, tapi kalau Cawang tidak mungkin karena sudah penuh dengan kendaraan. Nah, satu-satunya Cakung-Cilincing, tapi kalau musim hujan tergenang belum ada perluasan jalan.

Pernah ada studi menyimpulkan bahwa kawasan industri Jababeka ke Tanjung Priok cuma 1,5 rit (volume angkutan kendaraan ke pelabuhan) per hari. Sementara di salah satu kawasan industri di Thailand yang jaraknya 80 Km dari pelabuhan bisa mencapai 4 rit per hari. Artinya betapa tidak efisiennya sarana transportasi, dan ini diketahui oleh siapa saja.

Jadi kalau kita bicara relokasi maka akan mencari keunggulan-keunggulan bagaimana infrastruktur, bagaimana tenaga kerja dan sebagainya. Masalah-masalah ini dengan terbuka diketahui banyak orang. Itu yang menjadi repot kalau kita menginginkan adanya relokasi.

Anda melihat posisi presiden bagaimana terkait AC-FTA ini?

Presiden selalu bersikap berdasarkan masukan dari bawahannya, yang saya tahu begitu. Biasanya dicek kepada sektor-sektor yang terkait, biasanya begitu, sikap beliau selalu begitu.

Dalam hal negosiasi ACFTA, masukan hanya dari kementerian perdagangan saja?

Belum tentu juga, pokoknya beliau bersikap dari masukan dari sektor-sektor terkait. Tidak hanya satu sumber saja, dicek dengan yang lain. Itu mekanisme yang ditempuh oleh beliau sehingga beliau mengambil sikap. Jadi tergantung masukan, saya tidak katakan kalau masukan itu hanya dari kementerian perdagangan, bisa dari sana, bisa dari sana.