Selasa, 26 April 2011

TIDAK MUDAH MENJADI KEPALA DESA PONRE WARU

TIDAK MUDAH MENJADI KEPALA DESA PONRE WARU
Ada yang unik terkait dengan SUKSESI KEPEMIMPINAN di Desa Ponre Waru. Pada dua periode belakangan ini (2005-2011 dan 2011-2017), pendaftaran Calon Kepala Desa berturut-turut mendapat perpanjangan waktu dikarenakan hanya satu kandidat yang mendaftar. Pada akhirnya BPD harus mengangkat seorang lagi “Calon Bayangan” untuk memenuhi syarat pelaksanaan Pilkades yang mengharuskan minimal 2 orang kandidat. Padahal, jika kita bandingkan dengan desa-desa lain, kita dapat melihat betapa antusiasnya warga mereka dalam berkompetisi pilkades. Umumnya kandidat yang maju bertarung tidak kurang dari 3 sampai 5 orang, lengkap dengan segala intrik pemenangan (termasuk money politic) yang tak kalah seru dengan pemilihan Bupati atau Pemilihan Gubernur.
Sekilas mungkin kita bisa syukuri keadaan ini, mungkin inilah hikmah dari faham persatuan yang selama ini kita junjung tinggi. Tapi apakah hal ini bisa disebut aklamasi, dalam arti masyarakat secara serempak dan mayoritas telah menetapkan seorang figure tertentu untuk menjadi pemimpinnya? Ternyata faktanya tidaklah demikian. Survey lokal –meski tidak seilmiah dengan metode LSI- menunjukkan bahwa setidaknya ada 2 atau 3 orang figure yang diidolakan warga untuk menjadi pemimpinnya, masing-masing dengan tingkatan popularitas dan elektabilitas (keterpilihan) yang dimilikinya. Pertanyaannya, Ada apa dengan kondisi UNIK tersebut diatas?
Secara garis besar, ada beberapa factor yang mempengaruhi, antara lain: Pertama, mental masyarakat kita memang belum mental “petarung”. Latar belakang sosial ekonomi kita yang mayoritas hidup sebagai petani ini mungkin menjadi pemicu dominan keadaan fsikologis tersebut. Jadi, bukan persoalan mau atau tidak mau, tetapi lebih pada ketidaksiapan mental kita untuk menerima segala resiko social yang akan muncul sebagai konsekwensi logis dari peristwa politik pilkades yang terjadi. Kedua, Ponrewaru dengan sejarah migrasinya dari selatan ketenggara yang sama-sama telah kita fahami itu ternyata masih menyimpan persepsi bahwa kepemimpinan ponrewaru hanya layak di jabat oleh trah ini atau itu. Persepsi ini tidaklah sepenuhnya keliru, tetapi kalau kemudian factor “kesejarahan” itu menjadi penghalang bagi peluang aktualisasi potensi dari orang-orang diluar trah ini dan itu tadi, tentu kedepan akan menjadi preseden buruk bagi tumbuhnya regenerasi kepemimpinan yang sehat ditengah-tengah masyarakat. Ketiga, Adanya sekelompok elit desa yang merupakan kausalitas dari factor pertama dan kedua tersebut diatas. Mereka ini secara alamiah memiliki ketokohan serta posisi-posisi penting baik dilembaga formal maupun pada lembaga-lembaga non formal desa yang langsung atau tidak langsung sangat berpangaruh pada keputusan-keputusan politik desa. Kelompok ini hampir bisa disebut kelompok pro statusquo atau kelompok yang selalu ingin mempertahankan kemapanan. Meski demikian, bukan berarti mereka sepenuhnya pendukung pemerintah (Incumbent). Intinya, mereka sangat menghindari resiko-resiko yang akan muncul sebagai akibat dari upaya perubahan. Atas nama persatuan, demi stabilitas politik alias pengamanan diri masing-masing, persoalan benar-salah boleh menjadi urutan kesekian. Kira-kira begitulah deskripsinya. Pada tingkat pemikiran yang kritis, menurut hemat saya, factor kelompok elit desa inilah yang paling bertanggungjawab terhadap apapun kondisi ke-kini-an dan ke-esok-an Ponre Waru.
Lantas, apa dan bagaimana seharusnya menyikapi dinamika ponrewaru yang terus bergerak dan berkembang ini?
memasuki tahun ke-40 usia ke-ponrewaru-an kita semua, maka sudah tentu, sudah seharusnya, kampung Ponrewaru kita ini tidak lagi sekadar difahami sebagai sebuah institusi tradisional yang hanya dibingkai oleh tradisi kekeluargaan-isme semata. Kampung ponrewaru mau tak mau telah menjadi bahagian dari birokrasi negara modern, dimana pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi juga harus membangun legitimasi yang lahir dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi serta “nilai” yang telah menjadi konsensus umum keponrean kita.
Dalam konteks menghadapi Suksesi Kepemimpinan desa kita ini, dan oleh karena prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat belum berhasil diterapkan secara baik pada periode sebelumnya, maka marilah kita bangun komitmen bersama bahwa, kedepan, adalah tugas kita bersama, khususnya siapapun saudara kita dari dua kandidat yang nanti akan terpilih menjadi kepala desa, untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik itu secara sungguh-sungguh.

1. AKUNTABILITAS
Akuntabiltas yang dimaksudkan disini adalah penyelenggaraan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan visi awal yang telah dicanangkan dan disepakti oleh masyarakat, tidak melakukan penyimpangan, tidak memanfaatkan potensi-potensi desa untuk kekayaan pribadi, dan seterusnya. Dalam perspektif ini, Pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanah oleh rakyat harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas tugas yang dipercayakan kepadanya dengan sejujur-jujurnya. BPD secara khusus adalah aktor utama yang berkewajiban melakukan kontrol dalam upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa, bukan sekedar menjadi stempel kepala desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, dan memanggil kepala desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara institusional, maka badan perwakilan masyarakat itu notabene akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Sebaliknya, kepala desa wajib menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat.

2. TRANSPARANSI
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang disediakan untuk dipahami serta dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Ketika kepala desa berdiri dimimbar jum’at misalnya, momen itu sebaiknya tidak hanya dijadikan sebagai arena “kuliah umum” mengenai kemuliaan persatuan atau sekedar ajang pendelegasian tugas gotong royong. Alangkah bagusnya jika momen seperti itu sesekali digunakan juga untuk menyampaikan laporan keuangan desa kepada warga, misalnya laporan realisasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2010 atau laporan keuangan mengenai proyek sarana infrastruktur desa, dan seterusnya. Kita harus berani membangun budaya transparansi seperti itu, sebab spirit partisipasi swadaya masyarakat terhadap program-program desa sangat tergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada pejabat pemerintahnya. Ketika transparansi tidak dilakukan lalu muncul suara-suara sumbang bahkan mungkin saja gejolak ditengah masyarakat, maka itulah konsekwensi yang harus diterima.

3. PARTISIPASI
Partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Karena melekat, maka hak ini tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang untuk duduk pada BPD atau pemerintah desa. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu mendudukan wakilnya untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga formal pemerintahan. Sedangkan hak politik tetap melekat pada setiap individu yang bersangkutan. Untuk itu, adalah hak setiap warga untuk terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan pemerintahan agar bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan. Partisipasi harus memungkinkan warga terlibat secara sistemik dan terus menerus dalam pengambilan keputusan publik. Secara substantif, partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yaitu setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yaitu setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.

Selain dari 3 prinsip dasar Good Governance tersebut diatas, kepekaan responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa juga sangat dibutuhkan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa (perdes). Kebiasaan pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, harus kita rubah. Kita harus selalu duduk bersama, mengkaji dan berdiskusi. Apakah betul misalnya, pembangunan prasarana fisik desa -yang selama ini menjadi tolak ukur penilaian kita terhadap sukses tidaknya seorang kepala desa- merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah keadaan kesejahteraan masyarakat kita semakin membaik dari tahun ketahun, atau tidak? Bagaimana dengan moralitas atau icon religious yang selama ini kerap membuat kita bangga dan merasa bebeda dengan komunitas lain?

Wal akhir, memang TIDAK MUDAH MENJADI KEPALA DESA PONRE WARU. Sebab selain hal-hal penting yang sudah kita urai diatas tadi, ada satu hal lagi yang tak kalah pentingnya yang harus terus dijaga, yaitu AKHLAK . Apa boleh buat, desa tercinta kita ini, -yang dengan latar belakang dan sejarahnya tersendiri- terlanjur telah menyandang predikat sebagai desa dengan masyarakatnya yang ISLAMI.

Karena itu, bagi saudaraku para kandidat kepala desa, pergi dan temuilah masyarakatmu, hiduplah dan tinggallah bersama mereka, cintai dan berkaryalah bersama mereka. Mulailah dari apa yang telah mereka miliki, buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui, sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: “Ini Baru Kepala Desa” bukan “Ini Kepala Desa Baru” !!.

Dengan penuh kerendahan hati, saya memohon maaf jika ada kata yang tidak berkenan di hati pembaca. Wassalam!!

2 komentar:

  1. Deskripsi yang bagus oleh penulis,,, namun disisi lain menurut saya di Desa Ponre Waru ini, masyarakat bukan berarti dia tidak melek atau peduli dengan politik, akan tetapi adanya kesadaran akan tugas kepemimpinan itu sendiri perlu dipertimbangkan, oleh rarena itu masyarakat yang bersinergi adalah masyarakat yg taat akan titah pemimpinnya, selama itu menyangkut maslahat bersama... nah,, d Desa Ponre ini sy rasa boleh dikatakan penduduknyanya insya Allah selalu menjunjun tiggi rasa ta'awun (tolong menolong) atau gotong royong.. karena kekuatan persaudaraan penduduk satu sama lain telah berakar menjadi satu.,,,,

    BalasHapus
  2. Infrormasi yang cukup baik, akan tetapi menurut saya pemimpin yang pantas untuk menjadi Kepala Pemerintah di Desa masa kecilku ini ialah yang berintegritas tinggi dan jiwanya yang mau merangkul warganya tanpa membedakan segi aspek tertentu (mohon maaf bila saya salah dalam hal ini) dan bukan Pemerinatah yang gila akan kehormatan.. wibawa juga penting untuk seorang pemimpin akan tetapi Ponre Waru Desa masa kecilku butuh pemimpin yang peduli akan pembangunan dan perkembangan bukan seperti Desa yang tidak memiliki pemimpin (seperti sekarang ini tidak ada lagi kegiatan jika bukan musim 17an) dan bukan seperti saat ini yang selama ini saya lihat ketika saya kecil dulu remaja ketika sore hari menjelang lapangan selalu rame, boro-boro sekarang, kangen gitu sih rasanya sama suasana Desa waktu saya masih anak-anak :)

    BalasHapus